Dear Lord, my heart and life I yield,
Submissive to Thy will;
I only ask that I may have
Some troubled place to fill.
I do not yearn for world-wide fame.
But rather to exalt Thy name
I know Thou hast some special task
That Thou wouldst have me to do;
Speak now, My Lord, 'tis all I ask
And may I then be true
To all that Thou desirest of me:
Allow me, now, Thy will to see.
Friday, April 13, 2007
SUBMISSVE TO HIS WILL
Thursday, April 12, 2007
The 23rd Channel
Television is my shepherd.
My spiritual growth shall want.
It maketh me to sit down and
nothing for it's name sake
Because it requireth all my spare time.
It keepeth me from doing my
duty as a Christian,
because it presenteth so many "good"
shows that I must see.
It restoreth my knowledge of the
things of the world and keepeth
me from study of God's word.
It leadeth me in the paths failing to attend
prayer meetings and
doing nothing for God's kingdom.
Yea though I live to be a hundred,
I shall keep viewing my TV
as long as it will work,
for it is my closest companion.
It sounds and pictures they comfort me.
It presenteth entertainment before me
and keepeth me from doing
important things with my family.
It fills my head with ideas which differ
from those in the Word of God.
Surely no good thing will come out of
my life because of so many wasted hours
and I shall dwells in my regrets and
remorse forever.
-Selected
Wednesday, April 11, 2007
Kuasa Injil untuk perubahan
Pada masa itu, Roma bukan sahaja kuasa besar, tetapi jenayah dan kekejaman menular di kota tersebut. Keruntuhan akhlak dan moral seakan-akan sama dengan kota-kota Sodom dan Gomorrah. Kekejaman Maharaja Roma itu menjadi takutan dan sebutan oleh ramai orang. Inilah kota yang benar-benar Paulus ingin pergi untuk memberitakan Injil kerana beliau percaya Injil dapatmengembalikan keadilan dan moral di kota tersebut.
Kenapakah Paulus mempunyai keyakinan yang sungguh bahawa Injil dapat membuat perbezaan pada kota itu? Roma 1:16b mengatakan Paulus percaya Injil adalah kuasa Allah yang boleh menyelamatkan orang-orang yang percaya pada Yesus. Kuasa Injil Kristus mampu membuat perubahan dalam hati kita. Tiada kuasa yang lain yang dapat melebihi kuasa Injil. Dengan kuasa Injil inilah Tuhan menggunakannya untuk mengubah hati manusia. Paulus dalam pelayanannya mengatakan, "Senjata yang kami gunakan dalam perjuangan, bukannya senjata dunia ini, melainkan senjata yang diberikan oleh Allah. Dengan senjata itu kami boleh menghancurkan pertahanan musuh; kami menghapuskan perdebatan" (2 Korintus 10:4)
Tuhan menunjukkan kuasanya dalam Injil dalam perubahan hidup Paulus sendiri. Paulus sentiasa ingat bahawa pada masa lalu dia merupakan guru agama yang menganggap diri sendiri yang benar dan seorang penindas. Kita mungkin tidak percaya bahawa Paulus akan berubah atau sedar akan kesilapan yang beliau lakukan. Paulus pernah mengimbas kehidupan beliau sebelum menerima Yesus. Apabila Yesus menunjukkan dirinya pada Paulus, beliau jatuh di atas tanah, ketakutan dan berasa hairan. Sejak hari itu, kehidupan Paulus bertukar. Beliau bukan lagi mencabar kehebatan Injil malah menjadi Juara untuk Injil. Jelasnya dengan Injil, Paulus telah "menimbulkan kekacauan di serata tempat" (Kisah Para Rasul 17:60) . Injil mempunyai kuasa untuk menimbulkan "kekacauan" di dunia ini. Kekacauan ini adalah membuat perbezaan daripada yang tidak baik ke arah kebaikkan.
Paulus sedar bahawa kuasa yang mengubah kehidupannya itu dapat juga mengubah kehidupan mereka yang percaya mahupun orang Yahudi atau sebaliknya, yang berpendidikan atau sebaliknya, besar mahupun kecil. Kedegilan orang Yahudi dan kesombongan orang Yunani dapat dipecahkan dengan pedang tajam Injil. Dengan senjata inilah Paulus dengan beraninya pergi ke Roma. Paulus sedar Roma berada dalam pengaruh kuasa kejahatan. Roma berada dalam cengkaman si Iblis yang penuh dengan keangkuhan dan gejala maksiat. Akan tetapi kuasa Iblis tidak dapat melawan dengan kuasa Injil. Paulus sedar bahawa Tuhan boleh mengubah hati jahil manusia bila Injil diberitakan. Paulus tahu Tuhan boleh menyelamatkan setiap pendosa, membawa mereka dari hidup kegelapan kepada cahaya dan menyelamat mereka dari cengkaman kuasa Iblis. Paulus yakin melalui Injil, tiada perkara yang sukar atau mustahil bagi Tuhan.
Wahai sidang pembaca, adakah kita yakin dengan kuasa Injil? Adakah ayat-ayat Injil telah menyakinkan saudara dalam kuasa Ruh Kudus? Adakah Injil telah pecahkan hati kita yang keras itu? Injil mempunyai kuasa untuk menyelamat dalam Yesus Kristus! Walaupun hati kita penuh dengan dosa seperti kejahilan, kegelapan dan kekejaman, Injil dapat membersihkan hati kita dari semua dosa. Walaupun dosa mengeraskan hati seseorang, Tuhan sahajalah (melalui kuasa Injil) yang dapat mengubah hati seseorang itu. Tuhan pernah berjanji, "Aku akan memberi kamu hati dan fikiran yang baru. Aku akan menggantikan hati kamu yang keras dengan hati yang taat. Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke dalam hati kamu agar kamu menurut hukum-Ku dan melaksanakan semua perintah yang telah Kuberikan kepada kamu. " (Yehezikel 36:26-27). Inilah janji Tuhan untuk kita yang percaya dengan apa yang Injil boleh lakukan untuk kita. Bolehkah kita benarkan cahaya Injil menyinar dalam kegelapan hati kita?
Monday, April 09, 2007
Patutkah umat Kristian berhijrah?
Artikel ini dalam bahasa Inggeris (tak sempat nak terjemahkan) ...
Should Christians Emigrate?
By Bishop Rev. Dr Hwa Yung
Berita NECF
November-December 2006 Issue
Websource: www.necf.org.my
_______________________________________________________________________
HWA YUNG is Bishop of the Methodist Church in Malaysia. This article in its current form first appeared in the Kairos publication, "Emerging Church Issues" (October 2006). It is excerpted and updated by Kairos Research Centre from the original publication, "Christian Thinking on Emigration" published by Graduate Christian Fellowship in 1987.
_______________________________________________________________________
According to the 2001 census, at least 35 percent of Malaysian immigrants to Australia were Christians. This is a highly disproportionate figure in view of the fact that Christians form only 9 percent of the Malaysian population.
This is, of course, part of the wider problem of the emigration of many skilled professionals from the Third World to the West. The resulting brain drain of some of the best and brightest, and the consequent damage to the economy and society, is a well-established fact.
The damage is also felt at the church level. Most of us can easily draw up a long list of people who were or could have been playing key roles in the Church in Malaysia, who have left the country over the last 30 years. For those who are seriously contemplating emigration, the issue is often a sensitive one.
At the same time, the issue is not a neutral issue but one that is at its very heart, moral. Therefore, despite its sensitivity, it needs to be discussed openly, objectively and frankly. What are the reasons why some Malaysians would consider emigrating?
The attraction of the West
The first reason is the general attraction of living in the more prosperous Western world, as all who have experienced living in the West would know. Higher standards of living, greater efficiency of the system, amenities of a wealthier society such as social security and better healthcare, and greater opportunities for jobs and children's education, are all part of the package that exerts an irresistible pull to the West.
Lack of professional fulfilment
Some who are highly intelligent and motivated find that there is no way to achieve professional fulfilment in Malaysia. Where can a theoretical chemist, a nuclear physicist, a brilliant pianist and the like, find a happy niche to pursue his or her career here?
Racial and religious factors
The National Economic Policy (NEP) has left many non-Bumiputras feeling that they do not belong in this country. The resurgence of Islam in the 1970s, and its continuation into the present, has aggravated this sense of alienation for those who are neither Bumiputras nor Muslims. "Why stay when we will always be treated as pendatangs and will never be allowed to fully claim our rights as citizens of the land?" so the argument goes.
Erosion of confidence
There has also been a growing loss of confidence in the ability and integrity of the government. The many financial scandals, rampant corruption at all levels of society and the government's seeming failure to deal with it, increase in money politics and the struggle for power that led to this, plus rising crime rate, cause many to fear for the future.
How Some Christians Justify Emigration
While the above factors may be good reasons that have led many to consider emigration, they may not be sufficient reasons in themselves. Many recognise that these reasons arise out of putting as our top priorities our own comfort, security, careers and families, something which, in the final analysis, is rather centred on oneself. Not all would agree with this but most Christians would. The result is that amongst those who have emigrated or who are considering emigration, there is often a feeling of guilt which they rationalise away with the following arguments:
"We can serve God anywhere!"
This is the most common argument put forward by those emigrating. On the surface, it seems a strong argument but problems appear upon closer examination. It depends on what we mean by "serve." In the general sense of "service," it is true that we can serve God anywhere. But in Scripture, "service" is linked to need and calling.
Consider the example of Paul. He was happily settled in Tarsus when Barnabas pulled him away to help meet the evangelistic and teaching needs of the church in Antioch (Acts 11:25–26). Later, when it became evident that there was a desperate need for workers to evangelise the wider Gentile Graeco-Roman world, Paul and Barnabas responded to that need (Acts 13:2–3).
However, the question of "need" in itself does not constitute the command to go. There has to be a "call" from God as both passages indicate. The truth is that there are always needs everywhere, but we cannot humanly respond to every need.
The Christian thereby functions on the basis of two principles: "Where or which are the greater needs?" and "Is God calling me to meet that particular need?"
Applying the first principle to the question of emigration, we immediately recognise that both spiritually and socio-economically, the needs are far greater in the Third World than in the West. As regards the second principle of "calling," I must confess that I know of very few people who justify their emigration in terms of God calling them to specific work abroad.
On the other hand, God in his sovereign wisdom caused us to be born in Malaysia, and surely it is because this is where God has called us to serve him. Recognition of this simple truth would mean that we stay unless he calls us out to another place, like Abraham, or to another area of service, like Paul.
The fact that emigration invariably means moving to greener pastures of the West and never to poorer and spiritually needier countries belies the argument that "we can serve God anywhere."
The Bible allows emigration
It is not certain what people mean when they claim that the Bible allows for emigration. While it is true that Abraham emigrated from Ur, it was in response to God's call (Genesis 11:2–12:1). It was not a case of moving from insecurity to greater security; rather it was exactly the opposite.
There is in fact a passage in Scriptures which specifically discourages 'emigration', if it may be put that way: Jeremiah 29:5–7. It was at a time after the Babylonians had deported a large number of Israelites as punishment for rebellion.
Many of the Israelite exiles in Babylon were unhappy in a foreign land where they had little citizenship rights, and would have emigrated back to Judah given the first chance.
But God asked them to "build houses…plant gardens…marry and have sons and daughters…seek the welfare of the city to which I carried you…pray to the Lord for it…"
Properly understood, this passage enshrines the fundamental principle, that we must learn to trust God's sovereignty in history, and where he has placed us, there we are to remain to pray for and seek the welfare of the land. If this were the case, then it would be most unwise to claim that "the Bible allows for emigration."
What about the prospects of persecution?
In the history of the church, emigration as a result of persecution has often appeared to be the proper course of action to take. But do these historical facts necessarily justify the emigration movement involving Malaysian Christians today?
One can hardly describe the present situation in terms of persecution. Despite certain restrictions by the government, freedom of religion is still enshrined in our nation's Constitution.
And we should certainly pray and work through all lawful means to help create a social climate in this nation so that the forces of extremism seeking to remove such constitutional safeguards would be held in check or removed altogether.
It has to be admitted that the pressure towards increased Islamisation will continue. Many are fearful and for some, the fear is too overwhelming for them to consider staying on.
Factors to be considered
A question of need
All of the above reasons are valid. But the question is whether they constitute a sufficient cause for leaving. I have suggested that they do not because from the Christian point of view, leaving for these reasons only solves the problems for myself, and perhaps, my family. It does not solve the problem for the nation, the Malaysian Church, and in particular, for those who are too poor and unqualified to have the means to leave.
It will mean that in the face of genuine spiritual and socio-economic needs, which are far greater than those in the West, we turn our backs and walk away like the priest and the Levite in the story of the Good Samaritan.
By leaving, we leave the country and the Malaysian church in a state of even greater need than before because often, it is precisely those who leave who have the training, resources and ability to alleviate the needs of the country and the Church. If this is so, then emigration cannot be a viable option for the Christian.
As for the question, "What about my children's future?" the answer is two-fold. First, those who can afford to emigrate usually are rich enough to give their children an overseas education anyway if necessary, and thereby to give them a sufficient start in adult life.
Secondly, and more pertinently, surely just as we are called to trust God for our own security, we are called to do the same for our children. We must dare to trust him and take seriously His Word, "But seek ye first the kingdom of God and his righteousness and all these things (all that we truly need) will be added to you" (Matthew 6:33).
God's sovereign wisdom and his calling for us
Christians must learn to believe that God is all-wise and that He has a definite purpose for us in placing us in Malaysia in this day and age. It is our responsibility to seek His will concerning this purpose and ask Him for grace and strength to fulfil it. Thus, ultimately, the question is not whether to emigrate or not to emigrate. Rather, it is: What is God's will or calling for us, and what is our commitment to Him and His will?
The Christian life is built upon an eternal covenant between God and us, which involves God committing Himself to us, and we, in response to His initiative, grace and love, committing ourselves in return to Him. Many of us, however, seem not to have grasped this point, that the Christian life does involve a definite commitment to God and to His will for our lives.
We still think of Christianity in the way many non-Christians think of their religions. God is like Santa Claus, and if we are good, we can expect God to bless us with comfort, health and wealth. And we often forget what our commitment to Christ requires of us in terms of obedience, self-denial and sacrifice.
The outcome is that we often end up walking the path of least resistance in life, spiritually and emotionally, and many justify emigrating after praying, "If you give me the visa, I will take it that it is your will for me to go."
We forget that such oversimplistic approach to guidance will justify the emigration of almost all our Christian professionals. But is that God's call? I am not saying that God does not call some of us to emigrate. But such calling appears to be the exception rather than the rule.
Settling in the West is no final solution
Settling in the West does not necessarily provide an escape from all the problems we hope to leave behind. Which country is safe these days? Is racism in the United Kingdom or Australia less ugly than its counterpart here? How would you like your children ogling at nude bodies making love on the TV screen and growing up desensitised to sexual immorality?
In the light of these questions, we must ask: "Is the West safer and more secure than here?" Western civilisation is on the decline, and the influence of the Church in the West has also been marginalised in an increasingly pluralistic post-Christian society. The 'war on terror' has also made Western countries vulnerable to terrorist attacks.
As such, despite its superficial attractions, all is not well with the West. Those seriously contemplating emigration should first take a good look at where they are thinking of going. Otherwise, they may find themselves jumping out of the frying pan into the fire! The Gospel is the power of God for salvation to everyone who has faith (Romans 1:16)
Most of the time, we allow the negative circumstances around us to determine the course of action we take in life. Often, we fail to begin with God, with who He is – the Lord of history – and of what He can do through His people who trust Him.
The gospel is indeed the power of God unto salvation to those who believe, as Paul wrote. And this is not just in the narrow sense; God's salvation will necessarily have socio-economic and political implications for the nation as well.
We need to take our eyes off the negative circumstances around us and recognise that if this is where God has called us to be, then He will also make available to us His power, to proclaim His gospel of salvation, to build His church and to transform the society in which we live into something better. We need grace sufficient to grasp afresh such a vision of God.
If this is the vision that we need, what concrete shape will it take? Dr. Isabelo Magalit, a respected Christian leader in the Philippines once wrote an article entitled, "I have a dream."
In it, he spoke of seeing, coming out from the Christian student world of this present generation in East Asia, men and women who truly know God and His Word and whose lives are fully yielded to Him.
From amongst such men and women, he sees many going into full-time ministry as pastors, evangelists and theologians, labouring to build God's church in East Asia. Others amongst them would enter the professional fields such as law, business, engineering, politics and government, and journalism, and from within these professions exert a positive and powerful Christian influence in our society in Asia, and turn it towards a more righteous and just and godly direction.
Then he sees Christian homes springing up all over the region shining with the glory and beauty of the gospel in the dark world around them. Finally, he spoke of the pouring forth of the next wave of overseas missionaries from Asia into all the world. Towards the end of Dr. Magalit's paper, he said, "Share my dream. Take your place in it. Stand up and be counted for Jesus."
This is the sort of vision we all need to recapture today.
Sunday, April 08, 2007
Kristus sumber pengharapan
Malaikat itu berkata kepada wanita-wanita itu, "Janganlah takut! Aku tahu bahawa kamu mencari Yesus yang telah disalibkan itu. Dia tidak ada di sini. Dia sudah bangkit seperti yang dikatakan-Nya dahulu. Marilah lihat tempat jenazah Yesus diletakkan.
Ayat ini menjadi penghibur dan pengharapan bagi mereka yang telah mati dalam Kristus bahawa satu hari nanti mereka akan dibangkitkan sepertiNya. Kristus sebagai hasil pertama (buah sulung) menjamin bahawa kebangkitan tubuh ini akan dimiliki oleh mereka yang percaya. Lebih dari itu, kebangkitan Kristus menjaminkan dan memberikan kita keyakinan bahawa kuasa maut - musuh terakhir kita telah dihapuskan.
Maut bukan perkara terakhir bagi anak-anak Allah. Maut perkara yang ditakuti ataupun kegelapan. Bila mereka yang percaya mati atau maut, dia bagaikan tidur dengan nyenyaknya. Yesus berkata, "Sebab Aku hidup, Kau akan hidup juga" (Yahya 14:19).
Yesus bangkit!!
Pada pagi ini di Stadium Hoki di bukit Jalil, Gereja Calvary mengadakan pujian Hari Easter pada pukul 6:30 pagi. Mong Ern, John Chung dan saya sempat bersembahyang dengan para jemaah lain yang datang pada pagi ini untuk memuji kebangkitan Tuhan kita.
Di tempat letak kereta, walaupun langit masih belum cerah lagi, banyak orang datang ke stadium tersebut. Kedengaran lagu-lagu pujian yang mempelawa kami masuk ke stadium itu.Kebaktian mengucapkan, "Selamat Hari Easter"
Yesus Bangkit! Dia memang sudah bangkit. Amin
Friday, April 06, 2007
Upacara Tenebrae di BLC
Jumaat Agung
"Lalu aku melihat lagi. Aku mendengar suara malaikat yang beribu-ribu dan berjuta-juta bilangannya! Mereka berdiri mengelilingi takhta, keempat-empat makhluk, dan para pemimpin itu. Mereka menyanyi dengan suara yang lantang, "Anak Domba yang sudah dibunuh itu layak menerima kekuasaan, kekayaan, kebijaksanaan, kekuatan, penghormatan, kemuliaan, dan pujian." (AlKitab Berita Baik Why 5:11-12)
Ya TUHAN, Bapa kami, kami bersyukur kepadaMu kerana Engkau mengasihi dunia ini sehingga memberi AnakMu yang tunggal kepada kami dan kepada semua manusia.
Kami bersyukur, ya Tuhan,
Kerana kesengsaraan Yesus di Taman Getsemani,
Kerana kesabaran dan kelemahlembutanNya di dewan pengadilan, dan
Kerana bilur-bilurNya yang menyembuhkan kami.
Kami bersyukur, ya Tuhan,
Kerana Yesus datang untuk menyelamatkan orang sesat;
Kerana Dia merendahkan diri dan taat sehingga mati, bahkan di kayu salib;
Kerana Dia mengasihi kami sehingga mengorbankan nyawaNya bagi kami;
Kerana Dia menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi ramai orang;
Kerana Dia merupakan persembahan yang harum dan korban yang sempurna kepadaMu.
Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang mengorbankan nyawanya bagi sahabt-sahabatnya. Tolonglah kami pada hari ini supaya tidak lupa akan kasih Yesus yang mengorbankan nayawaNya bagi kami.
Dengarlah doa ini, demi kasihMu. Amin
2)
Ya Tuhan Yesus Kristus, yang pernah berkata, 'Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua manusia kepadaKu."
Arahkanlah pandangan mata kami pada hari ini kepada SalibMu.
Tolonglah kami melihat dalam SalibMu hidup manusia yang bergelumang dalam dosa. Tolonglah kami melihat Salib itu bahawa dosa ialah bermusuhan dengan Engkau, bahawa dosa ialah pemusnah segala yang mulia dan musuh segala yang murni.
Tolonglah kami melihat dalam Salib itu kasihMu dicurahkan bahawa Engkau mengasihi kami sehingga tiada perkara yang tidak sanggup Engkau korbankan.
Tolonglah kami melihat dalam Salib itu kengerian dosa, dan menjauhkan diri daripadanya untuk selama-lamanya.
Tolonglah kami melihat dalam Salib itu keajaiban kasih dan menyerahkan diri kepadanya untuk selama-lamanya.
Kami mohon ini demi kasihMu. Amin
Thursday, April 05, 2007
Monday, March 12, 2007
Bagaimankah kita menilai sesama sendiri?
Adakah semasa kita menegakkan keadilan dan kebenaran, mungkinkah kita dibutai bila menghakimi sesama sendiri? Adakah kita lupa siapakah Hakim yang sebenarnya? Pada hakikatnya kita ingat kita menegakkan kebenaran wahal kebenaran itu sendiri mendedahkan siapakah diri kita sebenarnya.
Yesus tidak menafikan dosa yang dilakukan oleh si penzina itu. Malah Baginda juga mendedahkan dosa-dosa munafik yang ada pada para guru agama dan orang awam yang ingin merejam perempuan itu. Sememangnya kita diseru menegakkan kebenaran dan mengutuk dosa tetapi kita juga kena kaji selidik dalam diri kita bahawa kita ini pernah berdosa. Pada waktu itulah Yesus sebagai Hakim Kebenaran mendedahkan semua dosa manusia. Walaupun Baginda tidak mengutuk perempuan itu, Baginda juga tidak setuju dengan perbuatan perempuan itu. Tetapi Baginda dengan rasa kasih kurniaNya menasihati perempuan itu supaya tidak berdosa lagi.
Setelah memikirkan dengan mendalam, saya dapat merasakan diri saya ini mempunyai dua personaliti iaitu Farisi dan penzina. Dalam watak Farisi itu, saya selalu menghakimi orang lain tanpa mengetahui dalam diri saya sebenarnya. Memang mudah untuk menghakimi orang tetapi amat susah bila bersemuka dengan dosa-dosa sendiri. Dalam kebodohan yang saya lakukan, Tuhan melihat saya dengan penuh rasa kasih sayang menasihati saya jangan melakukan perbuatan ini.
Hanya dalam rahmatNya sahajalah kita bebas tetapi ia tidak bermaksud kita bebas dari dosa. Inilah yang saya harus ingat agar kasih Allah pada saya tidak membutakan saya dalam menilai sesama sendiri. Bolehkah komuniti Yesus menerima sesama sendiri tanpa menghiraukan status sosial?
Sunday, March 11, 2007
Hajat Ibu bapa
Pendeta Chris dari SEMOA menghantar hiper pautan "Parent Wish " yang mengingatkan saya untuk senantiasa mengasihi kedua ibu bapaku and nenekku.
Walaupun mereka tidak berupaya melakukan kerja kerana usia mereka yang tua, kita haruslah bersabar dan menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi kita sewaktu kita masih bayi.
"Ya Tuhan, lanjutkanlah usia kedua ibu bapa kami agar mereka dapat berbakti kepadaMu. Agar kami dapat menyayangi and mengasihi mereka ..."
Adakah saya untuk diri saya?
Brian McLaren juga mengingatkan saya dalam sesi perbincangan bahawa kita dicipta dan ditebus bukan untuk diri kita sahaja tetapi untuk jiran-jiran kita dan dunia ini. Adakah keselamatan yang diberikan baginda Isa AlMasih hanya untuk membawa jiwa kita ke syurga sahaja? Kita mempunyai peranan dalam membantu jiran-jiran kita untuk merealisasikan kerajaan Allah dalam hidup mereka agar mereka dapat melihat Yesus dalam hidup kita.
Memang patut kita mempertahankan kebenaran AlKitabiah (Apologetik). Umat Kristian diseru untuk memberikan jawapan yang kukuh supaya mereka dapat memahami iman Kristian sebenarnya. Akan tetapi kita lupa masalah-masalah yang dihadapi oleh jiran kita. Contohnya, bila adanya dialog antara agama, kita sangat petah dalam perdebatan kita. Tetapi bila nak bantu jiran kita bila ditimpa bencana banjir, di mana kita?
Saya rasalah kita memang lupa peranan kita membantu jiran-jiran yang ditimpa masalah. Sebaliknya kita berada di suasana yang selesa bersama dengan kawan-kawan kita bermain, membeli belah, tengok wayang dan sebagainya. Kita ni lebih suka pergi ke gereja yang bertaraf "Mega Mall". Kita pergi gereja di mana lagu-lagu pujian dan khutbah yang memenuhi citara kita. Di manakah misi kita untuk jiran kita?
Perbuatan kita boleh mencerminkan identiti dan iman kita dalam baginda Isa. Hanya perbuatan yang diiringi dengan kasih diluahkan kepada jiran kita menyedarkan mereka identiti kita. Bantulah jiran kita dengan hati yang ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa balasan dari mereka.
Saya juga berpendapat kita boleh berkerjasama dengan jiran-jiran yang bukan seiman dengan kita untuk kebaikkan bagi masyarakat kita. Kita tidaklah perlu risau kerana ia dapat membantu kita untuk mengenali jiran-jiran kita dengan lebih mendalam lagi.
Marilah kita ikut jejak baginda Isa AlMasih yang mempunyai belas kasihan terhadap mereka yang miskin, tertindas, sakit dan sebagainya. Ya baginda sering mengajar dan menyampaikan berita kerajaan Allah. Baginda juga mengiringinya dengan perbuatan kasihNya.
Berikut adalah artikel dalam blog seperti yang dikatakan tadi :
-------------------------------
Brian telah mengatakan sesuatu yang telah meninggalkan kesan kepada saya:
Manusia boleh memilih daripada empat opsyen berikut dalam menjalankan tanggungjawab mereka kepada “jiran” mereka yang berlainan dari mereka.
1. Memaksa mereka menukar agama/kaum/bahasa dan lain-lain dan diasilimisasikan
2. Menindas dan mengetepikan mereka
3. Tidak mempedulikan dan mengasingkan mereka
4. Kasih dan mengenal, melayan dan melindung.
Sebagai rakyat kerajaan baginda Al-Masih, seorang kristian mesti memilih opsyen keempat.
Dalam zaman sekarang yang dibelenggu terrorisme samada tindak-tanduk hegemoni Amerika di dunia terutamanya Iraq mahupun serangan pengebom berani mati di khalayak mangsa-mangsa yang tidak berdosa, titah baginda Yesus kepada rakyat kerajaannya mesti dipatuhi:
Markus 12:29-31 Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
Kasih-mengasihi tidak haruslah pada permukaan sahaja. Sebaliknya orang yang dikasihi harus dianggap sebagai kaum keluarga sendiri. Kenali jiran dengan mendalam. Layanilah mereka dengan hati senang. Lindungilah mereka sekiranya mereka dalam bahaya.
SEORANG KRISTIAN BERTANGGUNGJAWAB DEMIKIAN TIDAK KIRA KAUM, AGAMA, STATUS SOSIAL ATAU KEWANGAN!
“Kalau engkau hanya membantu semasa sendiri dan sejenis, engkau tidak berbeza daripada orang lain yang menolong semasa sendiri sahaja”
Dalam konteks dunia hari ini, konflik agama merupakan konflik yang terbesar. Rakyat jelata baginda Al-Masih mempunyai tanggungjawab sosial untuk membantah sebarang kekerasan yang digunakan untuk menindas golongan yang tidak berupaya. Namun sekadar protes tidak memadai. Teori mesti diiringi dengan praktis. Apa gunanya berhujah panjang jika tidak diringi dengan langkah-langkah yang kukuh dan konkrit dan meninggalkan kesan?
Homili-homili di dalam surat Yakobus, saudara kepada baginda Yesus amat penting untuk direnungkan. Salah satu nas berbunyi:
Yakobus 1:26-27 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.
Dan lagi:
Yakobus 2:26 Nah, sebagaimana tubuh tanpa roh adalah tubuh yang mati, begitu juga iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati.
Bukalah minda dan dada.
Jangan kita ulangi Perang Salib yang dicetuskan oleh Kristian Katolik terhadap Timur Tengah pada Zaman Pertengahan. Jangan kita lupa kekejaman orang Katolik Sepanyol yang menakluki Amerika Tengah dan Selatan dan membunuh kaum tempatan.
Bayangkanlah betapa indahnya sekiranya kita mengamalkan Pemerintahan Allah dalam cara kita melayani mereka yang berbeza daripada kita. Satu dunia tanpa peperangan dan kekejaman.
Idealisme? Tidak, sekiranya semua manusia mula mengasihi satu sama lain.
Dan perubahan bermula daripada diri sendiri.
Friday, March 09, 2007
Children of Cambodia
Photo taken by 3 of us on different occasion now being compiled so that we can know situation that children of Cambodia are facing.
Consider to sponsor a child today.
Please visit
Tuesday, February 27, 2007
Implikasi doktrin Tritunggal dalam komuniti manusia
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! (Ulangan 6:4)
Pada resminya, dalam khutbah2 umat-umat Kristian diajar berkenaan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kebanyakkan gereja tidak mengajar doktrin Tritunggal secara holistik. Pada hakikatnya, doktrin Tritunggal dari satu aspek dapat membentuk kehidupan dan permikiran umat Kristian.
Dalam blog ini, saya tidak akan mendebatkan atau mempertahankan doktrin Tritunggal tetapi melihatnya dari satu aspek yang boleh mengubah pemikiran saya dalam perhubungan sesama sendiri dan dengan Allah.
AlKitab menyatakan Allah maha mengasihi dan maha menyayangi. Dengan kata yang ringkas kasih ada dalam Allah. Kasih melibatkan perhubungan dan bukanlah suatu abstrak persendirian. Dalam perhubungan adanya kasih.
Doktrin Tritunggal menyatakan Allah Maha Esa mempunyai 3 Peribadi. Ketiga-tiga Peribadi ini ialah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Perhubungan yang wujud antara ketiga-tiga Peribadi ini membentuk satu komuniti di mana kasih diluahkan dalam perhubungan ini. Kasih memang sudah wujud dalam komuniti Allah.
Bapa mengasihi Anak dalam perhubungan dengan Roh Kudus
Anak mengasihi Bapa dalam perhubungan dengan Roh Kudus
Komuniti wujud dalam Allah. Dan dalam komuniti ini adanya perhubungan dan kasih sayang yang diluahkan dalam perhubungan ini.
Kasih Allah yang terluah dariNya semasa penciptaan dunia dan manusia menunjukkan alam dan manusia ini dicipta kerana kasih Allah. Dunia ini penuh dengan kasih Allah. Manusia yang dicipta dengan imej Allah mempunyai kasih di dalamnya yang boleh diluahkan olehnya.
Apakah implikasi dalam diri kita melalui doktrin Tritunggal?
Allah menyatakan diriNya dalam Yesus Kristus. Hanya dalam Kristus sahaja kita diundang ke dalam perhubungan dengan Allah. Yakni kita diundang ke dalam komuniti Allah sendiri. Dosa yang telah memisahkan kita dari Allah dan dengan sesama sendiri telah dirapatkan dengan kematian Yesus Kristus. Keselamatan yang diberikan Yesus bukanlah hanya dari segi penyelamatan jiwa ke syurga tetapi ia mengembalikan perhubungan dengan sesama sendiri dan dengan Allah yang telah dihancurkan oleh dosa.
Kita dicipta bukan untuk hidup bersendirian dan berasingan. Kita dicipta untuk melibatkan diri dalam perhubungan dan komuniti masing-masing. Inilah maksud sebenarnya untuk menjadi manusia di muka bumi ini.
Mereka yang ingin memisahkan dirinya dari lain hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka ini hanya melakukan perkara-perkara yang untuk dirinya sendiri. Manusia sering kali digoda untuk melakukan perkara-perkara yang hanya untuk kepentingan masing-masing. Pada hakikatnya ia membawa keburukkan dan kehancuran ke dunia ini dan diri kita. Kita dicipta untuk kebaikkan sejagat. Dunia ini dicipta bukanlah untuk kita sahaja. Ini membawa kita ke konsep penjagaan ekologi bumi. Kita adalah khalifah yakni penjaga bumi ini. Manusia yang dicipta dengan rupa / imej Allah mempunyai sifat-sifat untuk mengekalkan keindahan alam ini.
Dalam kasih Tritunggal inilah, Allah mengasihi dunia ini (manusia dan alam semulajadi). Atas kasih Allah pada dunia ini, Bapa mengutuskan Anak yang dikasihiNya. Anak yang mengasihi Bapa akur pada perintah Bapa walaupun menderita dan mati. Anak yang mengasihi kita semua ini mengutuskan Roh Kudus agar kita dapat memuliakan Allah Tritunggal dalam perkerjaan kita. Berdasarkan pada konsep kasih dan perhubungan, ia mengingatkan umat Kristian untuk saling kasih mengasihi sesama sendiri dalam apa jua kita lakukan baik dalam pelayanan mahupun perkerjaan sekular. Seringkali kita dengan khususnya dalam pelayanan Kristian adanya pergaduhan dan salah faham yang wujud kerana ego masing-masing. Kenapakah ia harus berlaku?
Kesimpulannya, gambaran yang diberikan dalam Allah Tritunggal ini ialah manusia seharusnya hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi hidup di dalam komuniti yang sentiasa berhubung sesama sendiri dalam kasih.
Sunday, February 18, 2007
Gong Xi Gong Xi
Kepada mereka yang bukan bangsa Cina, Selamat Bercuti bersama keluarga anda tersayang. Semoga anda berhibur dengan apa jua yang anda lakukan.
Kepada kawan seiman saya, semoga kita memporlehi rahmat Tuhan. Yesus adalah Tuhan segala bangsa. Biarlah kita merayakan tahun baru Cina ini dengan berterima kasih kepadaNya atas segala nikmat syukur yang diberiNya. Biar tahun baru ini, kita akan lebih lagi memuliakan Tuhan kita dalam segala yang kita lakukan. Amin.
Gong Xi Xien Nien.
Monday, January 29, 2007
Amalan Berpuasa Pandangan AlKitab
Semoga kita akan terus berjalan dalam firmanNya, dalam kasih Yesus dan di bawah kuasa Roh Kudus.
Sememangnya puasa merupakan suatu disiplin kerohanian Kristian yang baik dan kalau umat Kristian dapat melakukannya ia dapat mendatangkan kebaikkan dalam rohani masing-masing. Berpuasa ini memang diamalkan oleh pengikut-pengikut awal Yesus Kristus seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 13:4; 14:23. Berpuasa dan berdoa adalah berhubungkait dan diamalkan oleh pengikut-pengikut awal Yesus (Lukas 2:37; 5:33). Wahal dalam Perjanjian Lama pula adanya umat-umat Israel yang berpuasa memohon pertolongan Tuhan baik dari segi keselamatan negara mahupun dalam pertaubatan individu.
Walau bagaimanapun, berpuasa ini bukanlah wajib seperti yang dituntut dalam AlKitab. Dengan kata lain Tuhan tidak memerintahkan umatNya untuk berpuasa. Jadi apakah perspektif Kristian berkenaan puasa ini?
Lazimnya puasa yang kita tahu ialah jangan makan minum untuk masa tertentu. Tetapi puasa ini mempunyai perspektif yang lebih luas lagi. Puasa adalah disiplin yang membolehkan umat Kristian untuk memfokuskan dirinya lebih kepada Tuhan dari benda-benda duniawi. Amalan disiplin ini membolehkan Kristian untuk menunjukkan kepada Tuhan bahawa dia amat serius perhunbungannya dengan Tuhan. Ia dapat melatihkan umat Kristian untuk bergantung pada Tuhan daripada dirinya sendiri.
Yesus Kristus sewaktu dia berpuasa, Iblis menyuruhnya untuk menukarkan batu-batu pada roti. Yesus yang sudah lama berpuasa letih dan lapar. Akan tetapi Yesus mengenepikan kehendak badanNya dan bergantung kepada Tuhan. Manusia tidak dapat hidup hanya dengan roti tetapi dengan firman Tuhan. Di sini Yesus ingin mengajar kita bahawa walaupun tubuh kita ini lebih kepada duniawi, tetapi kita harus bergantung dan memfokuskan diri kita kepada Tuhan.
Amalan puasa ini dapat membantu rohani kita dengan menukarkan minda kita dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.
Walaupun amalan puasa dalam AlKitab selalunya bertahan dari makan minum, namun adanya beberapa cara untuk berpuasa. Kita boleh menyerahkan apa-apa sahaja untuk sementara waktu agar kita dapat memfokuskan diri kita kepada Tuhan. Ia juga boleh dikira berpuasa (1 Korintus 7:1-5). Bila kita berpuasa dengan bertahan dari makan minum, ia haruslah dilakukan pada tempoh-tempoh tertentu. Kalau tempoh itu dilanjutkan tanpa makan, ia akan memudaratkan badan kita. Tujuan berpuasa bukan untuk kita menyeksa badan kita tetapi memfokuskan pada Tuhan dan menjalinkan hubungan yang lebih erat dengan Tuhan. Sama juga dengan tujuan berpuasa bukanlah untuk berdiet. Kalau nak jaga badan, memang makan kena dijaga dan juga kenalah bersenam. Bagi mereka yang mempunyai masalah-masalah kesihatan contohnya masalah kencing manis (diabetics), mereka ini tidak dapat berpuasa tetapi mereka boleh berpuasa dengan cara menyerahkan sesuatu untuk tempoh yang tertentu supaya dapat memfokuskan pada Tuhan.
Untuk memfokuskan diri kita pada Tuhan, kita kenalah mengenepikan hal-hal duniawi. Berpuasa bukanlah satu cara untuk Tuhan melakukan hal-hal yang kita mahu. Puasa mengubah kita, bukan Tuhan. Puasa bukanlah untuk ditunjuk-tunjukkan bahawa rohani kita lebih baik dari yang lain. Puasa hendaklah dilakukan dengan rendah diri dan sikap yang ceria. Inilah saranan yang diberikan Yesus berkenaan puasa, “Tetapi kalau kalian berpuasa, cucilah mukamu dan sisirlah rambutmu, supaya tak ada yang tahu bahwa kalian berpuasa, kecuali Bapamu yang tidak kelihatan itu saja. Dia melihat perbuatanmu yang tersembunyi itu dan akan memberi upah kepadamu." "Kalau kalian berpuasa, janganlah bermuka muram seperti orang yang suka berpura-pura. Mereka mengubah air mukanya supaya semua orang tahu bahwa mereka berpuasa. Ingatlah, itulah upah yang mereka sudah terima.” Matius 6:16-18